Hukum Salam kepada Non-Muslim: Toleransi dan Batasannya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umat Islam untuk menyebarkan salam kepada sesama muslim. Hal ini mencerminkan nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, dan kebaikan yang dijunjung tinggi dalam agama Islam.

Salam menjadi salah satu cara yang dianjurkan untuk menyapa, memberikan salam keselamatan, dan mempererat hubungan antara sesama muslim.

Dengan demikian, salam antar-Muslim memiliki peran penting dalam membangun kebersamaan dan keharmonisan dalam komunitas Muslim.

Lalu bagaimana dengan mengucapkan salam kepada non-Muslim?

Sebaiknya Tidak Berlebihan dalam Menunjukkan Toleransi

Beberapa Muslim menggunakan salam yang menggabungkan salam Muslim dan salam non-Muslim. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan toleransi dan menyapa dengan lebih hangat. Namun, hal ini tidak diperkenankan dalam syariat agama dengan alasan berikut:

  1. Seorang Muslim sudah mencukupi dengan salam kepada sesama Muslim.
  2. Salam non-Muslim mengandung pengagungan terhadap agama atau tuhan mereka, yang jelas melanggar prinsip tauhid dan aqidah seorang Muslim.
  3. Jika niatnya adalah untuk menunjukkan toleransi, sudah cukup menggunakan salam dalam bahasa umum seperti “selamat pagi” atau “selamat malam”.
  4. Namun, jika kita menggunakan salam dalam bentuk Islam karena kita berada di negara mayoritas Muslim, ini diperbolehkan asalkan salam tersebut ditujukan kepada Muslim saja. Hal ini telah berjalan baik dan tidak merusak toleransi dalam masyarakat.

Memulai Salam kepada non-Muslim

Hukum asal dalam Islam adalah bahwa seorang Muslim tidak boleh memulai salam kepada non-Muslim. Ini berarti bahwa seorang Muslim seharusnya tidak mengucapkan salam terlebih dahulu kepada non-Muslim tanpa adanya provokasi atau permintaan salam dari pihak non-Muslim tersebut.

Hal ini didasarkan pada prinsip dan ajaran dalam Islam yang mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian memulai kaum Yahudi dan jangan pula kaum Nashrani dengan ucapan salam.” [HR. Muslim]

Penjelasan ulama: An-Nawawi, seorang ulama terkemuka dalam mazhab Syafi’i, menjelaskan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah memulai salam kepada non-Muslim itu makruh atau haram.

Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa memulai salam kepada non-Muslim adalah haram. Penjelasan ini didasarkan pada konteks larangan yang menunjukkan keharaman tindakan tersebut.

Pendapat yang membolehkan memulai salam kepada non-Muslim dalam keadaan tertentu tidak diterima secara umum oleh mayoritas ulama.

Oleh karena itu, umat Muslim sebaiknya menghindari memulai salam kepada non-Muslim tanpa adanya kebutuhan atau permintaan salam dari pihak non-Muslim tersebut.

Mendahului Salam dengan Ucapan Umum

Dalam agama Islam, terdapat kelonggaran atau permissibilitas untuk mendahului salam dalam keadaan-keadaan tertentu yang membutuhkan atau memiliki kepentingan yang lebih besar (mashlahat).

Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa dalam hal ini, salam yang digunakan bukanlah salam non-Muslim, melainkan ucapan umum yang tidak melibatkan aspek agama.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam situasi-situasi yang memerlukan interaksi sosial.

Contoh-cara Mendahului Salam Menggunakan Ucapan Umum

Dalam menjalankan prinsip ini, umat Islam dapat menggunakan ucapan-ucapan umum yang netral secara agama untuk mendahului salam. Beberapa contoh ucapan umum yang dapat digunakan antara lain:

  1. “Selamat pagi” atau “selamat malam” sebagai salam dalam situasi waktu tertentu.
  2. “Selamat datang” sebagai ucapan sambutan ketika menyapa atau bertemu seseorang.
  3. “Bagaimana kabar?” atau “apa kabar?” sebagai ucapan untuk menanyakan kabar atau keadaan seseorang. Perlu ditekankan bahwa ucapan-ucapan ini tidak mengandung makna agama atau pengagungan terhadap agama atau tuhan non-Muslim.

Pendapat Beberapa Ulama

Beberapa kutipan dari ulama yang menjelaskan permissibilitas mendahului salam dalam keadaan tertentu adalah sebagai berikut:

  1. Ibnul Qayyim menyatakan, “Sebagian ulama menjelaskan, boleh mendahului salam karena ada mashlahat yang lebih besar, misalnya ia membutuhkannya, takut dari gangguannya, atau karena ada hubungan kerabat atau sebab lain yang menuntut ia harus memulai salam.” (Zadul Ma’ad 2/424)
  2. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah menyebutkan, “Apabila ada kebutuhan/hajat untuk memulai salam, maka tidaklah mengapa, akan tetapi tidak menggunakan salam (doa keselamatan). (Boleh) Mengatakan ‘ahlan wa sahlan’ (selamat datang), ‘Kaifa haluk’ (bagaimana kabar) dan sejenisnya. Salam saat itu karena ada hajat, bukan untuk menghormati berlebihan.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 25/168)

Poin ini menjelaskan bahwa Islam memberikan kelonggaran dalam mendahului salam dengan menggunakan ucapan umum dalam situasi-situasi tertentu yang membutuhkan.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk menjaga interaksi sosial dengan bijak dan menjunjung nilai-nilai toleransi dalam batas-batas yang ditetapkan oleh syariat.

Makna dan Arti Salam non-Muslim

Ketika kita melihat makna dan arti salam dalam agama-agama non-Muslim, terdapat perbedaan yang signifikan dengan konsep salam dalam Islam. Contohnya:

  1. Salam Agama Hindu: Dalam agama Hindu, salam diungkapkan dengan kalimat “Om Swastyastu,” yang secara harfiah berarti “Semoga Selamat dalam Lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.” Makna salam ini berkaitan dengan harapan agar seseorang diberikan perlindungan oleh dewa-dewa mereka.
  2. Salam Agama Buddha: Dalam agama Buddha, salam diungkapkan dengan kalimat “Namo Buddhaya,” yang artinya “Terpujilah Semua Buddha.” Salam ini adalah penghormatan dan pengagungan terhadap ajaran Buddha.
  3. Salam Agama Kristen: Dalam agama Kristen, salam diungkapkan dengan kata “Shalom,” yang berarti “Keselamatan.” Salam ini mengandung makna perdamaian dan keselamatan yang diyakini berasal dari ajaran dan kasih tuhan.

Implikasi Penggunaan Salam non-Muslim

Ketika seorang Muslim menggunakan salam non-Muslim, seperti yang dijelaskan di atas, terdapat implikasi yang penting:

  1. Pengagungan terhadap agama dan tuhan mereka: Dalam agama-agama non-Muslim, salam mengandung makna yang berkaitan dengan penghormatan, pengagungan, dan doa kepada agama dan tuhan mereka. Sebagai seorang Muslim yang meyakini prinsip tauhid dan aqidah, menggunakan salam yang mengandung pengagungan terhadap tuhan selain Allah adalah tidak tepat.
  2. Melanggar prinsip tauhid dan aqidah: Islam memiliki prinsip dasar tauhid, yaitu kepercayaan kepada keesaan Allah dan penghindaran dari penyekutuan dengan-Nya. Menggunakan salam non-Muslim yang mengandung pengagungan terhadap tuhan mereka dapat melanggar prinsip dasar ini dan aqidah seorang Muslim.

Dengan memahami makna dan implikasi salam non-Muslim, seorang Muslim diharapkan dapat menghormati dan memahami batasan-batasan dalam menggunakan salam, serta tetap menjaga prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Islam.

Menggunakan Salam Islam kepada non-Muslim

Meskipun ada larangan memulai salam kepada non-Muslim, menggunakan salam Islam sebagai respons atau tanggapan terhadap salam non-Muslim diperbolehkan.

Meskipun diperbolehkan menggunakan salam Islam kepada non-Muslim, penggunaan salam tersebut hanya ditujukan kepada kaum Muslim.

Ini berarti bahwa salam tersebut tidak dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap agama atau tuhan non-Muslim.

Penggunaan salam Islam kepada non-Muslim bertujuan untuk menjaga kesopanan dan menyampaikan pesan keselamatan kepada sesama muslim.

Seperti penjelasan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani,

جواز السلام على المسلمين إذا كان معهم كفار وينوي حينئذ بالسلام المسلمين

“Bolehnya mengucapkan salam  kepada kaum muslimin apabila bersama mereka orang kafir dan berniat salam itu hanya untuk muslim saja.” [Fathul Bari 8/230]

Kutipan tersebut memberikan penegasan bahwa dalam situasi tertentu, penggunaan salam Islam kepada non-Muslim adalah diperbolehkan dan sesuai dengan ajaran agama.

Kesimpulan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umat Islam untuk menyebarkan salam kepada sesama Muslim sebagai bentuk kasih sayang, persaudaraan, dan kebaikan dalam agama Islam.

Salam antar-Muslim memainkan peran penting dalam membangun kebersamaan dan keharmonisan dalam komunitas Muslim.

Namun, ada batasan dalam menyebarkan salam kepada non-Muslim. Dalam Islam, seorang Muslim sebaiknya tidak memulai salam kepada non-Muslim tanpa adanya provokasi atau permintaan salam dari pihak non-Muslim tersebut.

Hal ini didasarkan pada prinsip dan ajaran dalam Islam yang mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Meskipun demikian, dalam situasi tertentu, Muslim diperbolehkan mendahului salam menggunakan ucapan umum yang netral secara agama sebagai bentuk interaksi sosial yang bijak.

Penggunaan salam non-Muslim oleh seorang Muslim melanggar prinsip tauhid dan aqidah Islam, karena salam dalam agama-agama non-Muslim mengandung pengagungan terhadap agama dan tuhan mereka.

Oleh karena itu, seorang Muslim diharapkan memahami batasan-batasan dalam menggunakan salam dan tetap menjaga prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Islam.

Islam mendorong umatnya untuk menjaga interaksi sosial dengan bijak dan menjunjung nilai-nilai toleransi dalam batas-batas yang ditetapkan oleh syariat.