Pelaksanaan Aqiqah dalam Islam: Hikmah, Hukum dan Syaratnya

Sebagai sebuah bentuk rasa syukur yang tulus mengiringi kelahiran si kecil, para penganut agama Islam disarankan untuk melaksanakan aqiqah untuk anak mereka.

Tradisi ini lazimnya melibatkan penyembelihan hewan ternak seperti kambing atau domba, yang kemudian dagingnya dibagikan kepada keluarga dan orang-orang yang membutuhkan.

Pengertian Aqiqah

Aqiqah adalah sebuah tradisi dalam agama Islam yang dilakukan sebagai bentuk ungkapan syukur atas kelahiran seorang bayi. Secara harfiah, aqiqah berasal dari bahasa Arab yang berarti memotong.

Dalam konteks aqiqah, pemotongan yang dimaksud adalah pemotongan hewan sebagai bentuk perayaan dan pengorbanan sebagai rasa syukur kepada Allah atas anugerah kelahiran anak.

Aqiqah dilakukan oleh orang tua atau keluarga yang merayakan kelahiran seorang bayi. Pelaksanaan aqiqah biasanya dijadwalkan pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran sang bayi.

Bagi bayi laki-laki, wajib hukumnya untuk memotong dua ekor kambing dalam acara aqiqah, sementara untuk bayi perempuan, cukup satu ekor kambing saja.

Hukum Melaksanakan Aqiqah Anak

Aqiqah dalam Islam memiliki sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri hingga masa Rasulullah Muhammad SAW. Praktek aqiqah ini telah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan diteruskan oleh Nabi Ismail AS. Aqiqah menjadi salah satu tradisi yang dianjurkan dalam agama Islam.

Pelaksanaan aqiqah bagi anak merupakan praktik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dilihat dari perspektif hukum, aqiqah memiliki status sunnah muakkad, yang berarti sunnah yang harus dikedepankan.

Dengan kata lain, jika seorang Muslim mampu melakukannya (karena memiliki kekayaan yang mencukupi), dianjurkan baginya untuk melaksanakan aqiqah bagi anaknya saat anak tersebut masih bayi. Namun, bagi mereka yang kurang mampu atau tidak mampu, pelaksanaan aqiqah dapat diabaikan.

Al-Hasan meriwayatkan dari Sammuroh radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap anak tergadaikan melalui aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, rambutnya dicukur, dan diberikan namanya.” (HR Ahmad 20722, At-Turmudzi 1605, dan dianggap sahih oleh Al-Albani).

Hadis ini menunjukkan bahwa aqiqah merupakan suatu bentuk ibadah yang disarankan dan dianjurkan bagi umat Muslim.

Hukum Aqiqah bagi Anak yang Meninggal / Keguguran

Jika terjadi keguguran pada janin, ada dua perincian penting yang perlu diperhatikan.

Pertama, jika keguguran terjadi sebelum usia 4 bulan atau 120 hari kehamilan, di mana ruh belum ditiupkan ke dalam janin, maka tidak disunnahkan untuk melakukan akikah.

Kedua, jika keguguran terjadi setelah usia 4 bulan atau 120 hari kehamilan, di mana ruh sudah ditiupkan ke dalam janin, maka tetap disunnahkan untuk melakukan akikah.

Pendapat ini sejalan dengan pandangan Imam Ibnu Hajar al-Haitami, yang mengemukakan bahwa bayi yang belum ditiupkan ruh (usia kurang dari 4 bulan atau 120 hari) tidak akan dibangkitkan di hari kiamat dan tidak memberikan manfaat bagi orang tua di akhirat.

قال ابن حجر ومثله لا تستحب العقيقة كالتسمية عن السقط إلا إن نفخت فيه الروح إذ من لم تنفخ الروح فيه لا يبعث ولا ينتفع به في الآخرة

Artinya,

“Imam Ibnu Hajar dan sesamanya berpendapat bahwa tidak disunnahkan akikah sebagaimana (tidak disunnahkan) memberikan nama dari bayi yang keguguran kecuali ketika telah ditiupkan ruh kedalamnya (sang bayi) karena bayi yang belum ditiupkan ruh tidak dibangkitkan (di hari kiamat) dan tidak bermanfaat (bagi orang tuanya) di akhirat,” (Al-Masyhur Abdurrahman bin Husan, Bughyah al-Mustarsyidin [KSA: Darul Minhaj, 2003 M], halaman 258).

Syarat-syarat pelaksanaan aqiqah dalam Islam

Syarat-syarat pelaksanaan aqiqah dalam Islam meliputi:

Kelahiran Anak

Aqiqah dilakukan setelah kelahiran seorang bayi yang telah mencapai usia tujuh hari. Jika bayi tersebut meninggal sebelum mencapai usia tujuh hari, aqiqah tidak perlu dilakukan.

Keberadaan Orang Tua

Aqiqah dilakukan oleh orang tua atau wali yang bertanggung jawab atas bayi yang dilahirkan. Orang tua atau wali memiliki hak utama untuk melaksanakan aqiqah bagi bayi tersebut.

Hewan Aqiqah yang Layak

Hewan yang dipilih untuk aqiqah harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Biasanya, hewan yang digunakan adalah domba atau kambing yang sehat dan tidak cacat. Hewan tersebut juga harus telah mencapai usia yang ditentukan, yaitu minimal satu tahun untuk kambing dan dua tahun untuk domba.

Niat dan Kesungguhan

Pelaksanaan aqiqah harus didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah SWT serta sebagai bentuk syukur atas kelahiran bayi. Pelaksanaan aqiqah harus dilakukan dengan kesungguhan hati dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama Islam.

Sumber Halal

Hewan yang digunakan dalam aqiqah haruslah dari sumber yang halal. Hewan tersebut harus disembelih secara syar’i dengan menyebut nama Allah SWT dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam menyembelih hewan.

Pembagian Daging

Daging hasil pemotongan aqiqah harus dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, seperti keluarga, tetangga, dan fakir miskin. Pembagian daging aqiqah merupakan salah satu aspek penting dalam aqiqah sebagai bentuk berbagi dan kepedulian sosial kepada sesama.

Dengan memenuhi syarat-syarat di atas, pelaksanaan aqiqah akan sesuai dengan tuntunan agama Islam dan diharapkan mendapatkan berkah serta keberkahan dari Allah SWT.

Hikmah Menjalankan Aqiqah

Menjalankan aqiqah memiliki beberapa hikmah yang sangat berarti. Berikut ini adalah beberapa poin penting mengenai hikmah menjalankan aqiqah:

Mengikuti Sunnah Rasulullah

Salah satu hikmah utama dari menjalankan aqiqah adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW. Rasulullah secara tegas menganjurkan umatnya untuk melaksanakan aqiqah sebagai bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah.

Membentuk Rasa Syukur

Aqiqah merupakan ungkapan syukur kepada Allah atas anugerah kelahiran seorang anak. Dengan melaksanakan aqiqah, orang tua menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah atas karunia-Nya yang telah diberikan.

Menguatkan Silaturahmi

Aqiqah juga memiliki hikmah dalam memperkuat silaturahmi antara keluarga, sahabat, dan tetangga. Dengan mengundang orang-orang terdekat untuk hadir dalam acara aqiqah, ikatan kekeluargaan dan persaudaraan akan semakin erat.

Berbagi dengan Sesama

Dalam aqiqah, daging hewan qurban akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ini memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk berbagi kebahagiaan dan memberikan manfaat kepada sesama, terutama kepada mereka yang kurang mampu.

Memberi Nama yang Baik

Salah satu hikmah penting dari aqiqah adalah memberikan nama yang baik kepada anak. Nama yang dipilih haruslah memiliki makna yang positif dan sesuai dengan ajaran Islam. Melalui aqiqah, orang tua dapat memberikan identitas dan nilai-nilai yang baik kepada anak mereka.

Memperoleh Berkah

Aqiqah juga dianggap sebagai amalan yang dapat mendatangkan berkah bagi keluarga. Dengan menjalankan aqiqah dengan niat yang ikhlas dan mengharapkan ridha Allah, diharapkan keluarga akan diberkahi dalam segala aspek kehidupan mereka.

Mendekatkan Diri kepada Allah

Melalui aqiqah, orang tua mengingatkan diri mereka sendiri dan keluarga tentang pentingnya menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah. Dengan menjalankan aqiqah, mereka berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan ibadah serta kesalehan mereka.

Jadi, menjalankan aqiqah memiliki banyak hikmah yang meliputi mengikuti sunnah Rasulullah, membentuk rasa syukur, memperkuat silaturahmi, berbagi dengan sesama, memberi nama yang baik, memperoleh berkah, dan mendekatkan diri kepada Allah.

Berkurban dengan Hewan Jantan atau Betina?

Bagaimana dengan jenis kelamin hewan yang akan digunakan sebagai hewan kurban? Apakah lebih baik memilih jantan atau betina?

Tidak secara tegas dijelaskan dalam teks-teks suci seperti Al-Qur’an atau hadis mengenai pilihan dan keutamaan jenis kelamin tertentu untuk hewan kurban. Namun, para ulama melakukan analogi antara kasus jenis kelamin hewan kurban dengan hewan yang digunakan untuk aqiqah.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzzab juga pernah memberikan penjelasan mengenai hal ini. Menurut An-Nawawi, jenis kelamin hewan kurban ini dapat dianalogikan dengan hadis yang memperbolehkan memilih baik jantan maupun betina untuk aqiqah.

ويجوز فيها الذكر والانثى لما روت أم كرز عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو أناثا   

Artinya:

“Dan diperbolehkan dalam berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Sebagaimana mengacu pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kuraz dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda “(aqiqah) untuk anak laki-laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing. Baik berjenis kelamin jantan atau betina, tidak masalah.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut: Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392)

Menurut An-Nawawi, jika jenis kelamin jantan maupun betina dalam hal aqiqah saja tidak dipermasalahkan maka dalam konteks kurban juga sama. Tidak ada masalah.

وإذا جاز ذلك في العقيقة بهذا الخبر دل على جوازه في الاضحية ولان لحم الذكر أطيب ولحم الانثى أرطب  

Artinya:

“Jika dalam hal aqiqah saja diperbolehkan dengan landasan hadits tersebut, maka hal ini menunjukkan kebolehan untuk menggunakan hewan berjenis kelamin jantan maupun betina dalam kurban. Karena daging jantan lebih enak dari daging betina, dan daging betina lebih lembab.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut, Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392)

Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada preferensi yang diberikan dalam memilih jenis kelamin untuk hewan kurban, baik itu jantan maupun betina. Tidak ada prioritas yang lebih tinggi antara keduanya.

Yang terpenting adalah memastikan bahwa hewan yang akan digunakan sebagai kurban memenuhi syarat-syarat sah untuk kurban. Wallahu a’lam