Beriman kepada Rasul Allah

Seorang muslim belum bisa dikatakan beriman jika tidak percaya kepada Rasul Allah. Iman kepada rasul merupakan salah satu dari enam rukun iman yang wajib diyakini oleh umat muslim.

Rukun iman terdiri dari iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir, serta Qada dan Qadar. Ingkar pada salah satu rukun iman artinya sama saja ingkar pada semua rukun iman yang ada enam itu.

Makna Iman kepada Rasul Allah

Iman kepada Rasul Allah berarti meyakini bahwa Allah swt telah mengutus para rasul untuk memberikan kabar gembira sekaligus peringatan kepada umat manusia.

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah [2]:213)

Buya Hamka dalam buku Pelajaran Agama Islam (1956) mengatakan bahwa itulah dasar pandangan Islam, manusia adalah satu. Perbedaan daerah, bumi tempat tinggal, bahasa, dan warna kulit bukanlah masalah. Allah mengutus nabi, berganti-ganti, namun satu tujuannya.

Tujuannya yaitu memberi petunjuk kepada manusia dan memutuskan perkara yang menjadi perselisihan. Agama yang dibawa para nabi juga satu pula, yaitu penyerahan diri dengan sukarela kepada Allah swt dan tidak menyekutukan-Nya.

Nabi dan Rasul Penunjuk Jalan

Manusia merupakan makhluk pilihan Allah. Diberi akal dan pikiran sehingga mampu membedakan baik dan buruk. Namun karena akal juga berkaitan erat dengan pancaindra, maka kadang tampak indah yang buruk dan sebaliknya tampak buruk yang indah.

Dalam perjalanan hidupnya, manusia juga menggunakan akalnya untuk berpikir hal-hal yang lebih kompleks. Puncak kesulitan berpikir itu adalah tentang Zat Yang Maha Kuasa. Sampai situ, akal memang tidak sanggup lagi meneruskannya. Maka kedatangan para nabi dan rasul sebagai utusan Tuhan adalah memberikan tuntunan tentang siapa Dia.

Perjalanan hidup manusia dari masa ke masa menunjukkan bahwa mereka mencari sendiri siapakah Dia (Tuhan)? Sebagian percaya Tuhan itu dua (Ahriman dan Ahura Mazda) di Persia. Sebagiannya lagi mengatakan Tuhan itu tiga (Trimurti: Krisna, Wisynu, Syiwa) dalam Hindu. Lalu ada pula yang bilang sebanyak bintang di langit (Tuhan dan dewa orang Yunani).

Kepercayaan yang seperti itu menimbulkan perpecahan manusia. Masing-masing membanggakan Tuhannya.

Sementara itu, isi ajaran segala nabi yaitu keesaan Tuhan. Dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, timbullah persatuan kemanusiaan dan teguhlah persaudaraan di antara sesama manusia. Keesaan kepercayaan (tauhid) menghilangkan perbedaan suku, bangsa, bahasa, daerah, dan keturunan.

Selain itu, manusia juga dituntun untuk menuju kebahagiaannya, yaitu bahagia hidup di dunia dan bahagia pula sesudah mati. Ada perintah bekerja, tetapi akal belum mengerti apa baiknya. Dan ada larangan, tetapi akal belum mengerti apa buruknya. Di waktu demikian, timbullah kesadaran bahwasanya menurut perintah itulah yang baik dan melanggar larangan itulah yang buruk.

Mendustakan Salah Satu Rasul Berarti Mendustakan Semua Rasul

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 105)

“Kaum ‘Aad telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa’ [26]: 123)

“Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih.” (QS. Al-Furqan [25]: 37)

Dalam ayat-ayat di atas, ketika suatu kaum mendustakan seorang Rasul yang diutus khusus kepada mereka, Allah swt menyebut mereka telah mendustakan semua Rasul yang Allah utus.

Sifat-sifat Nabi dan Rasul

Para nabi dan rasul memiliki jiwa yang murni. Akal mereka sehat dan kata mereka benar. Mereka shiddiq, amanah, tabligh, fathanah.

  • Shiddiq artinya mereka jujur menyatakan apa yang benar dan apa yang salah, karena cintanya pada peri kemanusiaan dan taatnya akan perintah Allah.
  • Mereka memegang amanah, yaitu kepercayaan besar yang dilimpahkan Tuhan kepadanya menjadi penuntun manusia
  • Mereka tabligh, yakni menyampaikan apa yang diperintahkan Tuhan. Tidak gentar meski apa yang disampaikannya menimbulkan kebencian orang hingga dikejar, dicaci, dibunuh, atau diusir dari kampung halamannya
  • Mereka juga bersifat fathanah, yaitu pandai bijaksana. Dapat mengatur kekuatan kaumnya dan ‘menyuapkan makanan jiwa’ sesuai ukuran, seperti dokter yang pandai mencampur beberapa zat dan unsur obat menurut takarannya.

Para nabi dan rasul itu manusia, makan minum, menikah seperti manusia pada umumnya. Selamat badannya dari cacat. Baik akhlaknya.

Para ulama berpendapat bahwa dosa besar mustahil dilakukan oleh para nabi dan rasul. Khilaf kecil-kecil yang tidak mengenai pokok, tentu ada. Namun kesalahan yang mereka lakukan tidak menjatuhkan martabat. Misalnya Nabi Muhammad pernah melakukan kesalahan strategi perang, beliaupun akhirnya mengikuti saran seorang sahabat yang berpengalaman hingga memperolah kemenangan.

Kesalahan beberapa nabi dan rasul menjadi perbincangan besar, misalnya Nabi Adam yang melanggar larangan makan buah Khuld. Namun, hal ini sepatutnya membuat umat muslim berpikir tenang dan saksama, apa hikmah di baliknya.

Ada pula nabi yang jiwanya tertekan setelah melakukan kesalahan, misalnya Nabi Musa yang membunuh seorang pesuruh Firaun. Beliau tidak sengaja membunuh, namun pukulannya menyebabkan kematian. Besar maupun kecil kesalahannya, para dan rasul tetap meminta ampun kepada Tuhan dan memohon taubat, termasuk Nabi Musa.

Perbedaan Nabi dan Rasul

Para ulama berselisih pendapat dalam mendefinisikan nabi dan rasul. Namun pendapat yang kuat menyatakan rasul adalah seorang yang mendapatkan wahyu dengan membawa syariat baru. Adapun nabi adalah seorang yang diberi wahyu untuk menetapkan syariat sebelumnya.

Kenabian itu sendiri tidak dapat dicapai dengan ketinggian ilmu, ibadah, maupun ketaatan. Juga tidak dapat dicapai dengan semedi, mengosongkan perut, meditasi, dan yang lainnya. Kenabian merupakan anugerah Ilahi semata, dan pilihan dari Allah.

Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakiNya (untuk diberi) rahmatNya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al Baqarah [22]:105)

Untuk menunjukkan bahwa dia memang dipilih Allah sebagai utusan-Nya kepada manusia, maka nabi dan rasul diberi mukjizat. Mukjizah adalah hal-hal yang merobek adat kebiasaan, di luar hukum sebab-akibat, tidak masuk akal, namun nyata adanya.

Misalnya, kemampuan Nabi Musa membelah laut sehingga bisa menyeberang dan meninggalkan Negeri Mesir bersama Bani Israel. Misalnya lagi, Ibrahim tidak terbakar ketika dimasukkan ke dalam api, Yunus tidak mati ditelan ikan besar, Isa Almasih menyembuhkan orang buta hingga mengembalikan hidup orang mati.

Ada utusan Tuhan yang diutus kepada satu kabilah kecil. Beberapa yang lain diutus ke masyarakat yang lebih luas, misalnya ke suatu negara dengan batas wilayah tertentu. Nabi atau rasul yang mempunyai kitab sendiri, lebih luas daerahnya dan lebih besar pribadinya. Meski begitu, semua nabi tetap tinggi mulia laksana bintang.

Ada pula Rasul yang risalatnya meliputi seluruh alam dan seluruh manusia tanpa batas waktu. Dan itulah Nabi Muhammad saw.

Tidak Ada Nabi Sesudah Muhammad

Muhammad Rasulullah merupakan penutup dari segala rasul, puncak dari segala kebesaran dan tokoh teladan pemimpin. Tidak ada lagi nabi dan rasul setelah Muhammad.

Beberapa kali ada orang yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad, dan ada pula yang mengatakan syariat Muhammad telah putus digantikan dengan syariat baru dari nabi baru. Umat Islam yang benar-benar beriman, sudah seharusnya tidak mempercayai hal tersebut.